PENGERTIAN TASAWUF & TAREKAT.
PENGERTIAN TASAWUF, TAREKAT DAN POSISINYA DLM ILMU-ILMU ISLAM
A. PENGERTIAN TASAWUF
Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salafi; sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam “Ensiklopedia Orang-Orang Suci”-nya Hikayat al-awliya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:
“Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu `perjalanan’ menuju malik al muluk `Raja semua raja’ (Allah `assa wa jalla).”
“Tasawuf adalah mencari wasilah `alat yang menyampaikan’ ke puncak fadhilah `keutamaan’.”
Definisi paling panjang yang dikutip Abu Nu’aim berasal dari perkataan Imam al-Junaid RA. ketika ditanya orang mengenai makna tasawuf:
“Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:
a. Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya.
b. Selalu bersandar kepada Allah `azza wa jalla,.
c. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
d. Sabar kehilangan dunia (harta).
e. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
f. Sibuk dengan Allah dan tidak sibuk dengan yang lain.
g. Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
h. Merealisasikan rasa ikhlas ketika muncul godaan.
i. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
j. Teguh kepada Allah dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta. [Hilayat al-Awliya]
Beberapa fuqaha `ahli fikih’ juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al Qawanin al Fiqhiyyah li Ibn Jazi hal. 277 menegaskan:
“Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir.”
Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji),itulah ilmu tasawuf.”
Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan:
“Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allah secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul dengan Allah dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi.”
Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu buhul: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.
B. PENGERTIAN TAREKAT
Kata Tarekat di ambil dari Bahasa Arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya adalah;
”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah) maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
C. POSISI TASAWUF DALAM ILMU-ILMU ISLAM
Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan bahwa Tasawuf adalah “Saudara Kembar” Fiqih. Pernyataan ini tampaknya berdasarkan pada kenyataan bahwa Fiqih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara Tasawuf merupakan perwujudan konkret dari konsep Ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep Iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam) dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW sebagaimana dikemukakan dalam hadist Abu Hurairah yang sangat terkenal. [Shahih al-Bukhari, I:27; Shahih Muslim, L:39]
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi Tasawuf sebagai “saudara kembar” Fiqih dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dalam bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya:
“Alhasil kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan Tasawuf dan Fiqih: gabungan otak dan hati. Dengan Fiqih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan Tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.
“Kalau kita tilik kepada bunyi Hadist tentang Islam, Iman dan Ihsan tampaklah bahwa ketiga Ilmu Islam yaitu Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin dan Ilmu Tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (Islam, Iman dan Ihsan).
“Islam diartikan oleh hadist itu ialah mengucapkan Syahadat, mengerjakan Shalat lima waktu, Puasa bulan Ramadhan, mengeluarkan Zakat dan Naik Haji. Untuk mengetahui, sehingga kita mengerjakan suruhan agama dengan tidak membuta: Kita pelajarilah Fiqih.
“Iman adalah Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul-Rasul dan Kitab-Kitab, dan iman kepada Hari Kiamat dan Takdir, buruk dan baik, Kita pelajarilah Ushuluddin atau Ilmu Kalaam.”
“Ihsan adalah kunci daripada semuanya, yaitu: Bahwa kita mengabdi kepada Allah SWT, seakan-akan Allah SWT itu kita lihat di hadapan kita sendiri. Karena meskipun mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allah SWT tetap melihat kita.Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam Tasawuf.
“Itulah tali berpilah tiga: Iman, Islam dan Ihsan. Dicapai dengan tiga ilmu: Fiqih, Ushuluddin dan Tasawuf. [Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 94-95]
Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi Tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan Syari’ah; bahkan ia merupakan ruh/hakikat/inti dari syariah.
Syariah sendiri dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang terbit dari diri Nabi SAW yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan (al-Qur’an dan al-Hadist)”; atau dengan bahasa yang lebih umum: Syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah.
Adalah mustahil memahami syariah (produk) secara sempurna tanpa memahami hakikatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah Tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu Fiqih dan hadist misalnya, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau qalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).
Fiqih dan Tasawuf ibarat dua sisi mata uang, jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan:
“Jika seorang ulama tidak ber-Tasawuf, maka ia kosong; sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (baca bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus.”
Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syeikh Amin al-Kurdi, juga mengungkapkan hal senada:
“Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (ber-Tasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (ber-Tasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik.” [Tanwir al-Qulub, hal. 408]
Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa Tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana Ilmu Fiqih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syeikh al-Islam Ibn Taymiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha’ dan ahli hadist. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataan beliau ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman ibn ‘Affan:
Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli hadist, dan juga oleh ahli ma’rifat dan Tasawuf. [Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah, XXXV:19]
KESIMPULAN
Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.
Tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah) maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk.
Posisi Tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan Syari’ah; bahkan ia merupakan ruh/hakikat/inti dari syariah.